Bab I-2 - MIRZA GHULAM AHMAD QADIANI[1]
Sketsa Sebuah Riwayat
Hidup.
Latar Belakang Keluarga
Secara silsilah Mirza
Ghulam Ahmad adalah keturunan trah Barlas dari Moghul[2]. Tapi beberapa waktu kemudian ia menyadari melalui “wahyu”
bahwa ia, pada kenyataannya, berasal dari Persia. Mengutip
kata-katanya sendiri:
"Wahyu tentang diriku adalah bahwa: Seandainya
keimanan itu tergantung di
Pleiades ( Rasi bintang Tujuh) pasti akan tetap diraih oleh orang Persia[3]. Dan kemudian, ada juga wahyu
ketiga tentang saya: Sesungguhnya, mereka yang tak beriman pada orang Persia yang menyangkal agama mereka, Tuhan akan bersyukur untuk usaha itu.
Semua “wahyu” ini menunjukkanbahwa nenek moyang kami Persia. Dan kebenarannya adalah apa yang telah Allah SWT nyatakan. "[4]
Dalam salah satu karyanya ia menulis:
Harus
diingat bahwa ternyata keluarga sederhana
ini adalah dari keturunan
Moghul. Tak ada catatan
dalam sejarah keluarga kami yang menunjukkan
bahwa keluarga kami berasal dari Persia. Apa
yang terlihat pada catatan tertentu adalah bahwa
beberapa nenek kita berasal
dari keluarga keluarga Sayyid yang mulia dan mashur. Sekarang telah datang untuk diketahui melalui firman Tuhan bahwa
kita adalah sebuah keluarga Persia. Kami percaya ini dengan semua keyakinan
kami sebab
realitas, dalam hal silsilah, tidak diketahui
oleh
seorangpun sebagaimana diketahui hanya oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hanya
pengetahuan-Nya saja yang benar dan pasti dan bahwa dari
semua yang lain, adalah patut disangsikan dan hanya bersifat dugaan. "
[5]
Mirza Gul Mohammad, buyut Mirza Ghulam Ahmad memiliki
lahan bangunan dan lahan perkebunan yang
cukup besar. Di Punjab, ia memiliki lahan perkebunan yang cukup luas. Mirza Ghulam Ahmad menyebutkan
dalam detail "kemegahan aristokrat dan kemegahan dari nenek moyang nya, kebiasaan
memberi makan sejumlah besar orang di mejanya, dan juga soal pengaruh agama-nya."[6]
Setelah kematiannya, kekayaannya menurun dan kaum Sikh menduduki desa desa di lahan perkebunannya.
Penurunan ini terus sedemikian rupa sehingga tidak ada lahan lain tersisa dalam kepemilikan kakeknya;
Mirza Muhammad Ata, kecuali Qadian. Kemudian,
orang-orang Sikh bahkan menduduki
Qadian dan mengusir keluarga Mirza keluar dari
Qadian. Pada tahun-tahun terakhir
pemerintahan Ranjit Singh, Mirza Ghulam Murtaza, ayah Mirza Ghulam, kembali ke
Qadian dan keluarga Mirza
kemudian menerima lima desa dari tanah dari ayahnya.[7]
Keluarga Mirza memelihara hubungan yang hangat dan
sangat setia dengan pemerintahan kolonial
Inggris yang baru saja didirikan
di Punjab. Beberapa anggota keluarga telah menunjukkan antusiasme yang besar
dalam konsolidasi pemerintah baru dan telah mengulurkan tangan untuk menyelamatkan pemerintahan itu pada
beberapa keadaan rawan. Untuk mengutip kata-kata Mirza sendiri:
Saya berasal dari keluarga yang setia habis habisan kepada pemerintah ini.
Ayah saya, Murtaza, yang dianggap sebagai teman baik, pernah diberi kursi di
pemerintahan gubernur Durbar dan disebut
sebut namanya oleh Mr Griffin dalam
dalam bukunya “Sejarah Para Pangeran
Punjab”.Pada tahun 1857 dia menolong Pemerintah Inggris di luar kemampuannya, yaitu,
menyediakan penunggang kuda dan
kuda-kudanya tepat pada masa
pemberontakan. Dia dianggap oleh Pemerintah kolonial Inggris sebagai pendukung
setia dan sebagai sekutu. Sejumlah surat penghargaan yang diterima oleh dia
dari pejabat sayangnya telah hilang.
Tiga salinan dari surat penghargaan
yang telah lama diterbitkan dimasa lalu,untungnya telah direproduksi
secara seadanya. Kemudian, setelah kematian kakek saya, kakak saya, Mirza
Ghulam Qadir terus menyibukkan diri dengan layanan kepada Pemerintah Kolonial
dan ketika penjahat penjahat berhadapan dengan pasukan dari Pemerintah Inggris
di jalan raya Tammun, ia ikut dalam pertempuran di sisi Pemerintah kolonial
Inggris [8]
Kelahiran,
Pendidikan, Pengasuhan
Sang Mirza lahir pada tahap terakhir masa pemerintahan Sikh di tahun 1839
atau tahun 1840 di Qadian di Distrik Gurdaspur.Tulisan-tulisannya
sendiri menunjukkan bahwa pada saat perjuangan kemerdekaan, pada tahun 1857, ia
berusia enam belas atau tujuh belas tahun.[9] Mirza Mahmood Bashjruddin dalam
pidatonya kepada Putra Mahkota
Inggris di tahun 1922, telah menyebutkan tahun kelahiran ayahnya tahun 1837[10]. Kalau menurut ini, pada tahun 1857,
usianya akan 21. Perubahan ( tahun kelahiran) ini tampaknya dibuat dalam rangka untuk membenarkan
ramalan Mirza yang telah disebutkan oleh
beliau sebagai wahyu IIlahi dalam kata-kata berikut:
"Kami akan mentakdirkan kamu untuk menjalani kehidupan yang baik selama sekitar
delapan puluh
tahun "[11]
Sang Mirza menerima pendidikan hingga Kelas Menengah di rumah. Dia mempelajari buku-buku tentang Tata Bahasa, Logika dan Filsafat di bawah bimbingan Maulavi Fazl-i-Ilahi, Maulavi Fazl-i-Ahmad dan Maulavi Gul Ali Shah. Ia belajar Kedokteran dari ayahnya, yang adalah seorang dokter berpengalaman. Selama kehidupan siswanya Mirza sangat tekun. Mengutip kata-katanya sendiri:
Sang Mirza menerima pendidikan hingga Kelas Menengah di rumah. Dia mempelajari buku-buku tentang Tata Bahasa, Logika dan Filsafat di bawah bimbingan Maulavi Fazl-i-Ilahi, Maulavi Fazl-i-Ahmad dan Maulavi Gul Ali Shah. Ia belajar Kedokteran dari ayahnya, yang adalah seorang dokter berpengalaman. Selama kehidupan siswanya Mirza sangat tekun. Mengutip kata-katanya sendiri:
Selama
hari-hari saya begitu benar-benar asyik dalam buku seolah-olah saya tidak hadir
di dunia Ayah saya kerap
memerintahkan saya untuk mengurangi kebiasaan
membaca saya, karena mengkhawatirkan kesehatan saya[12]
Namun, untungnya hal ini tidak berlangsung lama. Di bawah tekanan yang mendesak
dari ayahnya, Mirza harus mengupayakan
sendiri untuk mendapatkan kembali
tanah milik leluhur yang kemudian membawa
nya ke litigasi di pengadilan hukum. Dia menulis:
"Saya merasa menyesal bahwa banyak waktu berharga saya dihabiskan dalam pertengkaran-pertengkaran kecil ini dan pada saat yang sama ayah yang saya hormati meminta saya untuk mengawasi urusan kepemilikan lahan kami. Saya bukanlah orang yang punya sifat yang cocok untuk kegiatan ini[13].
Sang Mirza kemudian mendapat pekerjaan pada Wakil Komisaris Sialkot dengan gaji kecil. Dia bertahan selama empat tahun di dinas itu, yaitu, 1864-1868[14], Selama periode ini ia juga membaca satu atau dua buku dalam bahasa Inggris[15].Terlebih lagi, ia juga mengikuti ujian Mukhtar namun tidak lulus[16]. Pada tahun 1868, ia mengundurkan diri dari pekerjaan ini dan kemudian datang ke Qadian dan mulai merawat lahan propertinya. Tapi sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengaji dan mempelajari karya-karya tafsir dan Hadis[17].
Kecenderungan Moral
Dari masa awal kanak-kanak , Mirza sangat sederhana. Dia tak menyadari hal-hal duniawi dan tampaknya menjadi sedikit suka menerawang. Dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya memutar arloji[18]. "Ketika ia harus tahu waktu, ia mengeluarkan arloji dari sakunya dan mulai menghitung, mulai dari satu Dan bahkan kemudian, sementara dia menghitung dengan jarinya, dia juga terus mengucapkan hitungannya dengan suara keras-keras supaya tidak lupa[19]." Dia tidak bisa hanya melihat arlojinya untuk mengetahui waktu. Karena kebengongannya , sulit baginya untuk membedakan antara sepatu kiri dan sepatu kanan. Mirza Bashir Ahmad menulis:
"Saya merasa menyesal bahwa banyak waktu berharga saya dihabiskan dalam pertengkaran-pertengkaran kecil ini dan pada saat yang sama ayah yang saya hormati meminta saya untuk mengawasi urusan kepemilikan lahan kami. Saya bukanlah orang yang punya sifat yang cocok untuk kegiatan ini[13].
Sang Mirza kemudian mendapat pekerjaan pada Wakil Komisaris Sialkot dengan gaji kecil. Dia bertahan selama empat tahun di dinas itu, yaitu, 1864-1868[14], Selama periode ini ia juga membaca satu atau dua buku dalam bahasa Inggris[15].Terlebih lagi, ia juga mengikuti ujian Mukhtar namun tidak lulus[16]. Pada tahun 1868, ia mengundurkan diri dari pekerjaan ini dan kemudian datang ke Qadian dan mulai merawat lahan propertinya. Tapi sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengaji dan mempelajari karya-karya tafsir dan Hadis[17].
Kecenderungan Moral
Dari masa awal kanak-kanak , Mirza sangat sederhana. Dia tak menyadari hal-hal duniawi dan tampaknya menjadi sedikit suka menerawang. Dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya memutar arloji[18]. "Ketika ia harus tahu waktu, ia mengeluarkan arloji dari sakunya dan mulai menghitung, mulai dari satu Dan bahkan kemudian, sementara dia menghitung dengan jarinya, dia juga terus mengucapkan hitungannya dengan suara keras-keras supaya tidak lupa[19]." Dia tidak bisa hanya melihat arlojinya untuk mengetahui waktu. Karena kebengongannya , sulit baginya untuk membedakan antara sepatu kiri dan sepatu kanan. Mirza Bashir Ahmad menulis:
"Pernah seseorang membawa untuknya gurgabi (semacam sepatu yang digunakan di Punjab)
Ia memakainya Tapi tidak bisa membedakan antara kanan dan kiri. Sering ia memakai sepatu
gurgabi itu terbalik, dan kemudian
merasa tidak nyaman. Suatu saat ketika kakinya lecet akibat oleh
penggunaan sepatu yang terbalik, ia merasa
kesal dan mengatakan bahwa tidak ada kebaikan dari orang-orang yang memberi sepatunya
itu. Ibu nya menganjurkan untuk membuat tanda tertulis yang menunjukkan kanan dan kiri
pada sepatu demi kenyamanannya, namun ia
tetap memakai sepatu pada kaki yang salah, karena itu kemudian
tanda-tanda
itu dihapus ibu.”[20]
Karena
sangat sering berkemih Mirza selalu menaruh dalam sakunya beberapa kelereng tanah[21]. Dia juga membawa segenggam gur [22]karena ia sangat suka permen[23].
Kesehatan Fisik Mirza
Di masa mudanya, Mirza mengidap
histeria sehingga kadang-kadang jatuh pingsan, selagi
kumat[24]. Sang Mirza biasanya menafsirkan kumatnya sebagai
histeria atau melankolia. Dia juga menderita diabetes dan
buang air kecil yang berulang ulang. Pernah
berkata dia suatu kesempatan: "Saya adalah orang yang sakit
permanen,".
Ia menambahkan:
Sakit kepala
dan pusing, dan insomnia dan jantung berdebar kerap
datang menyerang dan
penyakit yang
seolah enggan pergi di bagian bawah
tubuh saya adalah diabetes. Sering kali saya buang air kecil sampai seratus kali pada siang hari atau malam hari.Dan semua gangguan kelemahan dan
kelelahan, yang merupakan akibat-
akibat alami dari buang air kecil yang berlebihan
seperti itu, seolah
telah menjadi takdir saya[25]
Di masa mudanya,Mirza terlibat sendiri dalam latihan rohani yang keras dan kursus disiplin diri yang kaku. Dia juga berpuasa terus-menerus selama jangka waktu yang lama.Dalam salah satu olah bathin yang panjang, ia berpuasa terus menerus selama enam bulan[26]. Pada tahun 1886, ia melewati periode lain dari suatu ibadah dan do’a eksklusif di Hoshiarpur[27]. Kemudian, karena sakit dan kelemahan, ia harus menyerah dan berhenti. Pada tanggal 31 Maret 1891, ia menulis kepada Nuruddin: "Sekarang kesehatan saya tidak bisa lagi menanggung beratnya ibadah Sunnah dan bahkan sedikit saja ibadah berat dan meditasi atau kontemplasi bisa mendatangkan penyakit”[28]
Di masa mudanya,Mirza terlibat sendiri dalam latihan rohani yang keras dan kursus disiplin diri yang kaku. Dia juga berpuasa terus-menerus selama jangka waktu yang lama.Dalam salah satu olah bathin yang panjang, ia berpuasa terus menerus selama enam bulan[26]. Pada tahun 1886, ia melewati periode lain dari suatu ibadah dan do’a eksklusif di Hoshiarpur[27]. Kemudian, karena sakit dan kelemahan, ia harus menyerah dan berhenti. Pada tanggal 31 Maret 1891, ia menulis kepada Nuruddin: "Sekarang kesehatan saya tidak bisa lagi menanggung beratnya ibadah Sunnah dan bahkan sedikit saja ibadah berat dan meditasi atau kontemplasi bisa mendatangkan penyakit”[28]
Kondisi Ekonomi
Sang Mirza memulai hidupnya dalam keadaan
biasa pada waktu itu : kehidupan yang sulit dan kemiskinan. Tapi sejalan
dengan meluasnya misinya dan ia menjadi pemimpin
spiritual sebuah sekte yang makmur, ia menjadi
makmur dan mulai menjalani kehidupan
yang nyaman. Dia juga sadar akan perubahan kedudukan
sosialnya: perbedaan yang jelas antara masa
awal dan kelanjutan kehidupannya .
Pada tahun 1907 ia menulis:
Hidup dan kesejahteraan kami dulu bergantung hanya pada
pendapatan ayah yang
kecil. Dikalangan luar, tak ada yang mengenal aku. Aku orang tak dikenal, hidup di desa terpencil Qadian,
berbaring di sudut tak
dikenal. Kemudian, Tuhan , menurut
nubuat-Nya, mengarahkan seluruh dunia ke arah saya dan membantu kami dengan kemenangan
terus menerus sehingga saya tidak punya kata untuk mengungkapkan terima kasih
saya. Menimbang kedudukan saya sendiri, saya tidak berharap untuk menerima bahkan sepuluh
rupee sebulan.. Tetapi Allah Ta'ala ,
yang mengangkat orang miskin dari debu dan menjerembabkan si
angkuh , membantu saya untuk
sedemikian rupa sehingga sampai sekarang saya telah menerima sekitar tiga ratus
ribu rupee atau, mungkin, bahkan lebih.[29]
Dalam catatan kaki, ia menambahkan :
Meskipun
ribuan rupee telah datang melalui wesel, namun lebih banyak telah disampaikan
kepada saya secara langsung oleh teman-teman yang tulus sebagai hadiah, atau
dalam bentuk uang kertas dalam
amplop dengan beberapa kalimat. Beberapa orang yang tulus telah mengirimkan uang atau emas secara anonim dan aku bahkan tidak tahu siapa nama mereka.[30]
Pernikahan
dan Anak Anak
Pernikahan
pertama Mirza terjadi pada tahun 1852 atau 1853 dengan salah satu kerabatnya
sendiri[31]. Istrinya ini melahirkan dua putra:
Mirza Sultan Ahmad dan Fazal Ahmad Mirza. Pada tahun 1891, ia menceraikan
wanita ini. Pada tahun 1884, ia mengambil istri lain, putri Nasir Nawab dari Delhi[32].Keturunan selebihnya
dari Mirza dilahirkan
oleh dari istri yang ini. Tiga putra lahir darinya: Mirza Bashiruddin Mahmud,
Mirza Bashir Ahmad (penulis Sirat al-Mahdi) dan Mirza Sharif Ahmad.
Kematian
Ketika pada tahun 1891 Mirza menyatakan bahwa dia adalah Al Masih yang dijanjikan[33], dan kemudian pada tahun 1910, dia menyatakan diri sebagai seorang nabi Allah[34], para ulama Islam mulai menolak dan menentang dia. Di antara mereka yang menonjol dalam menentang dirinya adalah Maulana Sanaullah Amritsari, editor Ahl-i-Hadis. Pada tanggal 5 April 1907, Mirza Ghulam Ahmad mengeluarkan pengumuman ketika dia berbicara kepada Maulana yang tersebut diatas, ia menulis:
"Jika saya pembohong besar dan penipu seperti yang Anda gambarkan saya di setiap edisi majalah Anda, maka saya akan mati ketika Anda masih hidup, karena saya tahu bahwa umur dari pembuat kejahatan dan pembohong tidak terlalu panjang dan akhirnya dia mati sebagai seorang pria gagal, ketika musuh yang terbesar nya masih hidup,dan dalam keadaan terhina dan kesedihan. Dan jika aku bukan pembohong dan penipu dan telah dihormati oleh wahyu Allah dan ditujukan kepada saya, dan jika saya Al Masihyang dijanjikan, maka saya berharap bahwa, dengan karunia Allah dan sesuai dengan kehendak Allah, Anda tidak akan lolos hukuman dari kekafiran. Jadi, jika hukuman yang tidak dating dari manusia tetapi di tangan Allah, yaitu, penyakit mematikan seperti wabah penyakit dan kolera, tidak menimpa kamu selama masa hidup saya[35], maka saya bukan dari Allah. " [36]
Kematian
Ketika pada tahun 1891 Mirza menyatakan bahwa dia adalah Al Masih yang dijanjikan[33], dan kemudian pada tahun 1910, dia menyatakan diri sebagai seorang nabi Allah[34], para ulama Islam mulai menolak dan menentang dia. Di antara mereka yang menonjol dalam menentang dirinya adalah Maulana Sanaullah Amritsari, editor Ahl-i-Hadis. Pada tanggal 5 April 1907, Mirza Ghulam Ahmad mengeluarkan pengumuman ketika dia berbicara kepada Maulana yang tersebut diatas, ia menulis:
"Jika saya pembohong besar dan penipu seperti yang Anda gambarkan saya di setiap edisi majalah Anda, maka saya akan mati ketika Anda masih hidup, karena saya tahu bahwa umur dari pembuat kejahatan dan pembohong tidak terlalu panjang dan akhirnya dia mati sebagai seorang pria gagal, ketika musuh yang terbesar nya masih hidup,dan dalam keadaan terhina dan kesedihan. Dan jika aku bukan pembohong dan penipu dan telah dihormati oleh wahyu Allah dan ditujukan kepada saya, dan jika saya Al Masihyang dijanjikan, maka saya berharap bahwa, dengan karunia Allah dan sesuai dengan kehendak Allah, Anda tidak akan lolos hukuman dari kekafiran. Jadi, jika hukuman yang tidak dating dari manusia tetapi di tangan Allah, yaitu, penyakit mematikan seperti wabah penyakit dan kolera, tidak menimpa kamu selama masa hidup saya[35], maka saya bukan dari Allah. " [36]
Satu
tahun setelah publikasi pengumuman ini, pada Mei 25,1908, Sang Mirza jatuh sakit, saat menderita diare di Lahore. Seiring dengan gerakan gerakan
lemah, dia
juga muntah muntah. Dia segera mendapatkan pengobatan, tetapi kelemahan meningkat
dan kondisinya menjadi kritis. Keesokan harinya, pada tanggal 26 Mei, ia menghembuskan nafas
terakhirnya pada pagi hari ( dalam usia 68 atau 69 tahun,
penterjemah). Tentang kematian ayah mertuanya Mir Nawab Nisar telah
menyatakan:
"Malam yang Hadhrat Mirza Sahib jatuh sakit, aku tertidur di tempat saya Ketika ia merasa sangat tidak nyaman, aku terbangun. Ketika saya dekati Hazrat Sahib dia menyapa saya dan berkata, 'Mir Sahib aku terkena kolera". Setelah ini, menurut pendapat saya, dia tidak berbicara sepatah kata yang jelas sampai dia meninggal esoknya setelah pukul 10 pagi.”[37]
Orang mati. tubuh dibawa ke Qadian. Pada 27 Mei 1908 penguburan berlangsung dan Hakim Nuruddin menjadi penggantinya, Khalifah pertama gerakan Qadiani.
"Malam yang Hadhrat Mirza Sahib jatuh sakit, aku tertidur di tempat saya Ketika ia merasa sangat tidak nyaman, aku terbangun. Ketika saya dekati Hazrat Sahib dia menyapa saya dan berkata, 'Mir Sahib aku terkena kolera". Setelah ini, menurut pendapat saya, dia tidak berbicara sepatah kata yang jelas sampai dia meninggal esoknya setelah pukul 10 pagi.”[37]
Orang mati. tubuh dibawa ke Qadian. Pada 27 Mei 1908 penguburan berlangsung dan Hakim Nuruddin menjadi penggantinya, Khalifah pertama gerakan Qadiani.
[1] Bagian ini
yang dimaksudkan untuk memaparkan garis besar kehidupan dari sang pendiri
didasarkan terutama pada pernyataan pernyataan dan tulisan tulisan Mirza
sendiri, dilengkapi dengan karya dari putranya, Mirza Bashir Ahmad , yang
berjudul Sirat al-Mahdi dan beberapa karya tulis lain dari para Qadianis yang
menjadi standard.
[3] Tradisi
ini terjadi dalam Shihah dengan sedikit variasi kata-kata Dalam beberapa
laporan di sana terjadi perubahan frasa Rijal Min Faras (beberapa laki-laki dari Persia/ jamak ) menggantikan rajul (seorang pria/tunggal) Para ulama dan para penafsir
hadis menafsirkan
hadits ini mengacu ke Salman al-Farisi dan ulama lainnya dan orang suci Persia
terkenal karena pengabdian dan layanan mereka pada tujuan Islam, termasuk disini Imam Abu Hanifah, yang juga
berasal dari Persia.
[8] “ Ishtisar Wajib
al-Izhar”, September 20, 1897, hal. 3-6, lampiran dari Kitab-ul-Barriah, Roohany Khazaen, Vol 13, P. 4,5, 6, 7 (acuan penyunting edisi Website)
[21] Digunakan untuk membersihkan diri setelah berkemih bagi Muslim terutama
bila tak tersedia air ditempat.
[35] Menariknya adalah bahwa Maulana Amritsari wafat pada usia 80 tahun pada
tanggal 15 Maret 1948. Sekitar 40 tahun sesudah wafatnya Mirza.