Jumat, 17 Juli 2015


Bab I-2 - MIRZA GHULAM AHMAD QADIANI[1]
Sketsa  Sebuah Riwayat Hidup.
Latar Belakang Keluarga
Secara silsilah Mirza Ghulam Ahmad adalah keturunan trah Barlas dari Moghul[2].  Tapi beberapa waktu kemudian ia menyadari melalui “wahyu” bahwa ia, pada kenyataannya, berasal dari Persia. Mengutip kata-katanya sendiri:

"Wahyu  tentang diriku adalah bahwa: Seandainya keimanan itu  tergantung di Pleiades ( Rasi bintang Tujuh) pasti akan  tetap diraih  oleh orang  Persia[3]. Dan kemudian, ada juga wahyu ketiga tentang saya: Sesungguhnya, mereka yang tak beriman pada orang Persia yang menyangkal agama mereka, Tuhan akan bersyukur untuk  usaha itu. Semua “wahyu”  ini menunjukkanbahwa nenek moyang kami Persia. Dan kebenarannya adalah apa yang telah Allah SWT nyatakan. "[4]
Dalam salah satu karyanya ia menulis:
Harus diingat bahwa ternyata keluarga sederhana ini adalah dari keturunan Moghul. Tak ada catatan dalam sejarah keluarga kami yang menunjukkan bahwa keluarga kami berasal dari Persia. Apa yang terlihat pada catatan tertentu adalah bahwa beberapa nenek  kita berasal dari keluarga keluarga  Sayyid yang mulia dan mashur. Sekarang telah datang untuk diketahui melalui firman Tuhan bahwa kita adalah sebuah keluarga Persia. Kami percaya ini dengan semua keyakinan kami sebab realitas, dalam hal silsilah, tidak diketahui oleh seorangpun sebagaimana diketahui hanya oleh  Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hanya pengetahuan-Nya saja yang benar dan pasti dan bahwa dari semua yang  lain, adalah patut disangsikan dan hanya bersifat dugaan. " [5]
Mirza Gul Mohammad, buyut Mirza Ghulam Ahmad memiliki lahan bangunan dan lahan perkebunan yang cukup besar. Di Punjab, ia memiliki lahan perkebunan yang cukup luas. Mirza Ghulam Ahmad  menyebutkan dalam detail "kemegahan aristokrat dan kemegahan dari nenek moyang nya, kebiasaan memberi makan sejumlah besar orang di mejanya, dan juga soal pengaruh agama-nya."[6] Setelah kematiannya, kekayaannya menurun dan kaum Sikh menduduki  desa desa di lahan perkebunannya. Penurunan ini terus sedemikian rupa sehingga tidak ada lahan lain tersisa dalam kepemilikan kakeknya; Mirza Muhammad Ata, kecuali Qadian. Kemudian, orang-orang Sikh bahkan menduduki Qadian  dan mengusir keluarga Mirza keluar dari Qadian. Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Ranjit Singh, Mirza Ghulam Murtaza, ayah Mirza Ghulam, kembali ke Qadian dan keluarga Mirza kemudian menerima lima desa dari tanah dari ayahnya.[7]
Keluarga  Mirza memelihara hubungan yang hangat dan sangat setia dengan pemerintahan kolonial  Inggris yang baru saja  didirikan di Punjab. Beberapa anggota keluarga telah menunjukkan antusiasme yang besar dalam konsolidasi pemerintah baru dan telah mengulurkan tangan  untuk menyelamatkan pemerintahan itu pada beberapa keadaan rawan. Untuk mengutip kata-kata Mirza sendiri:
Saya berasal dari keluarga yang  setia habis habisan kepada pemerintah ini. Ayah saya, Murtaza, yang dianggap sebagai teman baik, pernah diberi kursi di pemerintahan gubernur Durbar  dan disebut sebut namanya  oleh Mr Griffin dalam dalam bukunya “Sejarah  Para Pangeran Punjab”.Pada tahun 1857 dia menolong Pemerintah Inggris di luar kemampuannya, yaitu, menyediakan  penunggang kuda dan kuda-kudanya  tepat pada masa pemberontakan. Dia dianggap oleh Pemerintah kolonial Inggris sebagai pendukung setia dan sebagai sekutu. Sejumlah surat penghargaan yang diterima oleh dia dari pejabat sayangnya telah hilang.  Tiga salinan dari surat penghargaan  yang telah lama diterbitkan dimasa lalu,untungnya telah direproduksi secara seadanya. Kemudian, setelah kematian kakek saya, kakak saya, Mirza Ghulam Qadir terus menyibukkan diri dengan layanan kepada Pemerintah Kolonial dan ketika penjahat penjahat berhadapan dengan pasukan dari Pemerintah Inggris di jalan raya Tammun, ia ikut dalam pertempuran di sisi Pemerintah kolonial Inggris [8]

Kelahiran, Pendidikan, Pengasuhan
Sang Mirza lahir pada  tahap terakhir masa pemerintahan Sikh di tahun 1839 atau tahun 1840 di Qadian di Distrik Gurdaspur.Tulisan-tulisannya sendiri menunjukkan bahwa pada saat perjuangan kemerdekaan, pada tahun 1857, ia berusia enam belas atau tujuh belas tahun.[9] Mirza Mahmood Bashjruddin dalam pidatonya  kepada Putra Mahkota Inggris di tahun 1922, telah menyebutkan tahun kelahiran ayahnya tahun 1837[10]. Kalau menurut ini, pada tahun 1857, usianya akan 21. Perubahan ( tahun kelahiran) ini tampaknya dibuat dalam rangka untuk membenarkan  ramalan Mirza yang telah disebutkan oleh beliau sebagai wahyu  IIlahi dalam kata-kata berikut: "Kami akan mentakdirkan kamu untuk  menjalani kehidupan yang baik selama sekitar delapan puluh tahun "[11]

Sang Mirza menerima pendidikan hingga Kelas Menengah di rumah. Dia mempelajari buku-buku tentang Tata Bahasa, Logika dan Filsafat di bawah bimbingan Maulavi Fazl-i-Ilahi, Maulavi Fazl-i-Ahmad dan Maulavi Gul Ali Shah. Ia belajar Kedokteran dari ayahnya, yang adalah seorang dokter berpengalaman. Selama kehidupan
siswanya Mirza sangat tekun. Mengutip kata-katanya sendiri:
Selama hari-hari saya begitu benar-benar asyik dalam buku seolah-olah saya tidak hadir di dunia Ayah saya kerap  memerintahkan  saya untuk mengurangi kebiasaan membaca saya, karena mengkhawatirkan kesehatan saya[12]

Namun, untungnya hal ini tidak berlangsung lama. Di bawah tekanan yang mendesak dari ayahnya, Mirza harus mengupayakan sendiri  untuk mendapatkan kembali tanah milik leluhur yang kemudian membawa nya ke litigasi di pengadilan hukum. Dia menulis:

"Saya merasa menyesal bahwa banyak waktu berharga saya dihabiskan dalam pertengkaran-pertengkaran
kecil ini dan pada saat yang sama ayah yang saya hormati meminta saya untuk mengawasi urusan kepemilikan lahan kami. Saya bukanlah orang yang punya sifat yang cocok untuk kegiatan ini[13].

Sang  Mirza kemudian mendapat pekerjaan pada Wakil Komisaris Sialkot dengan gaji kecil. Dia bertahan  selama empat tahun di dinas itu, yaitu, 1864-1868[14], Selama periode ini ia juga membaca satu atau dua buku  dalam bahasa Inggris[15].Terlebih lagi, ia juga mengikuti  ujian  Mukhtar namun tidak lulus[16]. Pada tahun 1868, ia mengundurkan diri dari pekerjaan ini dan kemudian datang ke Qadian dan mulai merawat lahan propertinya. Tapi sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengaji dan mempelajari karya-karya tafsir dan Hadis[17].

Kecenderungan Moral

Dari masa
awal kanak-kanak , Mirza sangat sederhana. Dia tak menyadari hal-hal duniawi dan tampaknya menjadi sedikit suka menerawang. Dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya memutar arloji[18]. "Ketika ia harus tahu waktu, ia mengeluarkan arloji dari sakunya dan mulai menghitung, mulai dari satu Dan bahkan kemudian, sementara dia menghitung dengan jarinya, dia juga terus mengucapkan hitungannya dengan suara  keras-keras supaya  tidak lupa[19]." Dia tidak bisa hanya melihat arlojinya untuk mengetahui waktu. Karena kebengongannya , sulit baginya untuk membedakan antara sepatu kiri dan sepatu kanan. Mirza Bashir Ahmad menulis:

"Pernah  seseorang membawa untuknya gurgabi (semacam sepatu yang digunakan di Punjab) Ia memakainya Tapi tidak bisa membedakan antara kanan dan kiri. Sering ia memakai sepatu gurgabi itu terbalik, dan kemudian merasa tidak nyaman. Suatu saat ketika kakinya lecet akibat  oleh penggunaan sepatu yang terbalik,  ia merasa kesal dan mengatakan bahwa tidak ada kebaikan dari orang-orang yang memberi sepatunya itu. Ibu nya menganjurkan untuk membuat tanda tertulis yang menunjukkan kanan dan kiri pada sepatu demi kenyamanannya, namun  ia tetap  memakai sepatu pada kaki yang salah, karena itu kemudian  tanda-tanda itu dihapus ibu.[20]

Karena sangat sering berkemih Mirza selalu menaruh dalam sakunya beberapa kelereng tanah[21]. Dia juga membawa segenggam gur [22]karena ia sangat suka permen[23].

Kesehatan Fisik Mirza
Di masa mudanya, Mirza mengidap  histeria sehingga kadang-kadang jatuh pingsan, selagi kumat[24]. Sang Mirza biasanya menafsirkan kumatnya sebagai  histeria atau melankolia. Dia juga menderita diabetes dan buang air kecil yang berulang ulang. Pernah berkata dia suatu kesempatan:  "Saya adalah orang yang sakit permanen,".
Ia menambahkan:
Sakit kepala dan pusing, dan insomnia dan jantung berdebar kerap datang menyerang  dan penyakit yang seolah enggan pergi di bagian bawah tubuh saya adalah diabetes. Sering kali saya buang air kecil sampai seratus kali pada siang hari atau malam hari.Dan semua gangguan kelemahan dan kelelahan, yang merupakan akibat- akibat alami dari buang air kecil yang berlebihan seperti itu, seolah telah menjadi takdir saya[25]

Di masa mudanya,Mirza terlibat sendiri dalam latihan rohani yang k
eras dan kursus disiplin diri yang kaku. Dia juga berpuasa terus-menerus selama jangka waktu yang lama.Dalam salah satu olah bathin yang panjang, ia berpuasa terus menerus selama enam bulan[26]. Pada tahun 1886, ia melewati periode lain dari suatu ibadah dan do’a eksklusif di Hoshiarpur[27]. Kemudian, karena sakit dan kelemahan, ia harus menyerah dan berhenti. Pada tanggal 31 Maret 1891, ia menulis kepada Nuruddin: "Sekarang kesehatan saya tidak bisa lagi menanggung beratnya ibadah  Sunnah dan bahkan sedikit saja  ibadah berat dan meditasi atau kontemplasi bisa mendatangkan penyakit[28]

Kondisi Ekonomi
Sang Mirza memulai hidupnya dalam keadaan biasa pada waktu itu : kehidupan yang sulit dan kemiskinan. Tapi sejalan dengan meluasnya misinya dan ia menjadi pemimpin spiritual sebuah sekte yang makmur, ia menjadi  makmur dan mulai menjalani kehidupan yang nyaman. Dia juga sadar akan perubahan kedudukan sosialnya: perbedaan yang jelas antara masa awal dan kelanjutan  kehidupannya . 

Pada tahun 1907 ia menulis:
Hidup dan kesejahteraan  kami dulu  bergantung hanya pada pendapatan ayah yang kecil. Dikalangan  luar, tak ada yang mengenal aku. Aku orang tak dikenal, hidup di desa terpencil Qadian, berbaring di sudut tak dikenal. Kemudian, Tuhan , menurut nubuat-Nya, mengarahkan seluruh dunia ke arah saya dan membantu kami dengan kemenangan terus menerus sehingga saya tidak punya kata untuk mengungkapkan terima kasih saya. Menimbang kedudukan saya sendiri, saya tidak berharap untuk menerima bahkan sepuluh rupee sebulan.. Tetapi Allah Ta'ala , yang mengangkat orang miskin dari debu dan menjerembabkan si angkuh , membantu saya untuk sedemikian rupa sehingga sampai sekarang saya telah menerima sekitar tiga ratus ribu rupee atau, mungkin, bahkan lebih.[29]

Dalam catatan kaki, ia menambahkan :
Meskipun ribuan rupee telah datang melalui wesel, namun lebih banyak telah disampaikan kepada saya secara langsung oleh teman-teman yang tulus sebagai hadiah, atau dalam bentuk uang kertas dalam amplop dengan beberapa kalimat. Beberapa orang yang tulus telah mengirimkan uang atau emas secara anonim dan aku bahkan tidak tahu siapa nama mereka.[30]

Pernikahan dan Anak Anak
Pernikahan pertama Mirza terjadi pada tahun 1852 atau 1853 dengan salah satu kerabatnya sendiri[31]. Istrinya ini melahirkan dua putra: Mirza Sultan Ahmad dan Fazal Ahmad Mirza. Pada tahun 1891, ia menceraikan wanita ini. Pada tahun 1884, ia mengambil istri lain, putri Nasir Nawab dari Delhi[32].Keturunan selebihnya dari Mirza dilahirkan oleh  dari istri yang ini. Tiga putra lahir darinya: Mirza Bashiruddin Mahmud, Mirza Bashir Ahmad (penulis Sirat al-Mahdi) dan Mirza Sharif Ahmad.

Kematian
Ketika pada tahun 1891 Mirza menyatakan bahwa dia adalah Al Masih yang dijanjikan[33], dan kemudian pada tahun 1910, dia menyatakan diri sebagai seorang nabi Allah[34], para ulama Islam mulai menolak dan menentang dia. Di antara mereka yang menonjol dalam menentang dirinya adalah Maulana Sanaullah Amritsari, editor Ahl-i-Hadis. Pada tanggal 5 April 1907, Mirza Ghulam Ahmad mengeluarkan pengumuman ketika dia berbicara kepada   Maulana yang tersebut diatas, ia menulis:

"Jika saya pembohong besar dan penipu seperti yang Anda gambarkan
saya di setiap edisi majalah Anda, maka saya akan mati ketika Anda masih hidup, karena saya tahu bahwa umur dari pembuat kejahatan dan pembohong tidak terlalu panjang dan akhirnya dia mati sebagai seorang pria gagal, ketika  musuh yang terbesar nya masih hidup,dan dalam keadaan terhina dan kesedihan. Dan jika aku bukan pembohong dan penipu dan telah dihormati oleh wahyu  Allah dan ditujukan kepada saya, dan jika saya Al Masihyang dijanjikan, maka saya berharap bahwa, dengan karunia Allah dan sesuai dengan kehendak Allah, Anda tidak akan lolos hukuman dari kekafiran. Jadi, jika hukuman yang tidak dating dari  manusia tetapi di tangan Allah, yaitu, penyakit mematikan seperti wabah penyakit dan kolera, tidak menimpa kamu selama masa hidup saya[35], maka saya bukan dari Allah. " [36]

Satu tahun setelah publikasi pengumuman ini, pada Mei 25,1908, Sang Mirza jatuh sakit, saat menderita diare di Lahore. Seiring dengan gerakan gerakan lemah, dia juga muntah muntah. Dia segera mendapatkan pengobatan, tetapi kelemahan meningkat dan kondisinya menjadi kritis. Keesokan harinya, pada tanggal 26 Mei, ia menghembuskan nafas terakhirnya pada pagi hari ( dalam usia 68 atau 69 tahun, penterjemah). Tentang kematian ayah mertuanya Mir Nawab Nisar telah menyatakan:

"Malam yang Hadhrat Mirza Sahib jatuh sakit, aku tertidur di tempat saya Ketika ia merasa sangat tidak nyaman, aku terbangun. Ketika saya
dekati Hazrat Sahib dia menyapa saya dan berkata, 'Mir Sahib aku terkena kolera". Setelah ini, menurut pendapat saya, dia tidak berbicara sepatah kata yang jelas sampai dia meninggal esoknya setelah pukul 10 pagi.[37]

Orang mati. tubuh dibawa ke Qadian. Pada 27 Mei 1908 penguburan berlangsung dan Hakim Nuruddin menjadi penggantinya, Khalifah pertama gerakan Qadiani.




[1] Bagian ini yang dimaksudkan untuk memaparkan garis besar kehidupan dari sang pendiri didasarkan terutama pada pernyataan pernyataan dan tulisan tulisan Mirza sendiri, dilengkapi dengan karya dari putranya, Mirza Bashir Ahmad , yang berjudul Sirat al-Mahdi dan beberapa karya tulis lain dari para Qadianis yang menjadi standard.

[2] Mirza Ghulam Ahmad, Kitab al-Bariyah, hal. 134

[3] Tradisi ini terjadi dalam Shihah dengan sedikit variasi kata-kata Dalam beberapa laporan di sana terjadi perubahan frasa Rijal Min Faras (beberapa laki-laki dari Persia/ jamak ) menggantikan rajul (seorang pria/tunggal) Para ulama dan para penafsir hadis menafsirkan hadits ini mengacu ke Salman al-Farisi dan ulama lainnya dan orang suci Persia terkenal karena pengabdian dan layanan mereka pada tujuan Islam, termasuk disini Imam Abu Hanifah, yang juga berasal dari Persia.

[4] Kitab al-Bariyah, hal. 135 n
[5] Arba’in, hal. 17.n
[6] Kitab al-Bariyah, hal 136-42 n.
[7] Ibid, hlm 142-44 n.
[8] Ishtisar Wajib al-Izhar”, September 20, 1897, hal. 3-6, lampiran dari Kitab-ul-Barriah, Roohany Khazaen, Vol 13, P. 4,5, 6, 7 (acuan penyunting edisi Website)

[9] Kitab al-Bariyah, hal 146, n
[10] hal 35
[11] vide Arabain , jilid 111,. hlm. 39
[12] Kitab al-Bariyah, hal 150.
[13] Ibid, hal 151
[14] Sirat al-Mahdi jilid 1 hal. 44.
[15] Ibid, hal. 155
[16] Ibid, hal. 156
[17] Kitab al-Bariyah, hal 155.

[18] Tulisan Qadian dari Qazi Muhammad Zahuruddin,” Yad-i-ayyam” pada jurnal al-Hakam 21 Mei 1934.
[19] Sirat al-Mahdi jilid 1 hal. 180.

[20] Sirat al-Mahdi jilid 1 hal. 180.dan Sirat al-Mahdi jilid 1 hal. 617.
[21] Digunakan untuk membersihkan diri setelah berkemih bagi Muslim terutama bila tak tersedia air ditempat.
[22] Gula yang tidak di saring banyak digunakan di India.
[23] Barahin-i-Ahmadiyah, jilid 1 hal.67.
[24] Sirat al-Mahdi jilid 1 hal. 17.

[25] Lampiran pada buku Arba’in, hal. 3 dan 4 ( hal 4 diringkas)
[26] Sirat al-Mahdi jilid 1 hal. 76.

[27] Ibid, hal. 71
[28] ."  Maktubat-i-Ahmadiyah, jilid  5, No 2, hal. 103, tanggal 31 Maret 1891

[29] Haqiqat-ul-Wahyu, Roohany Khazaen, jilid 22, hal. 220-221; haqiqat-ul-Wahyu, hal. 211-212

[30] Ibid, hal 211n.
[31] Sirat al-Mahdi jilid 2 hal. 150.

[32] Sirat al-Mahdi jilid 2 hal. 151.
[33] lihat Bagian 2 bab 2
[34] lihat Bagian 2 bab 3
[35] Menariknya adalah bahwa Maulana Amritsari wafat pada usia 80 tahun pada tanggal 15 Maret 1948. Sekitar 40 tahun sesudah wafatnya Mirza.
[36] Tabligh-i Risalat, jilid 10, hal. 120
[37] Hayat-i-.Nasir, hal. 14, ed. Syaikh Yaqub Ali Irfani